One Way Trip

gloryday

The Plot
Ini kisah perjalanan dua hari satu malam 4 (empat) orang pemuda, yang melahirkan banyak pembelajaran dalam kurun waktu tersebut.

The Comment
Movietard harus mengakui seringkali mengalami ‘demam’ second lead ketika menonton serial drama, dan ini terjadi ketika movietard menonton Angry Mom (2015) dan Reply 1988 (2015), dalam dua serial ini terdapat dua karakter pendukung yang menarik perhatian karena walaupun sudah menjadi karakter yang begitu gentleman sepanjang serial, keduanya gagal mendapatkan cinta dari karakter perempuan utama *puk-puk Bak Dong dan Jung Hwan*. Saking simpatinya terhadap dua karakter pemuda tersebut, movietard menaruh perhatian terhadap si ganteng Ji Soo dan si charming Ryo Joon Yeol sebagai aktor yang memerankannya. Jadi, ketika dua nama ini bermain bersama dalam sebuah kisah coming of age, tentunya movietard bersemangat menonton film Korea, One Way Trip atau Glory Day (2016).

gloryyyydayyyyyy

Cerita One Way Trip ditulis Choi Jeong Yeol yang juga duduk di kursi sutradara. Plot berfokus pada pertemanan 4 (empat) orang remaja usia 18 tahun-an yang akan melaksanakan pesta perpisahan karena satu dari mereka, Sang Woo (Suho EXO) akan melaksanakan wajib militer. Di Korea Selatan, menjadi tentara pada angkatan darat, udara dan laut selama kurang lebih 2 (dua) tahun merupakan program wajib pemerintah untuk pemuda usia 18 tahun sampai 35 tahun. Alasan Sang Woo mengambil program ini di usia dini sederhana saja, biaya perkuliahan yang mahal membuatnya tak tega membebankan sang nenek yang seorang diri membesarkannya. Jadi, dua hari sebelum Sang Woo memasuki kamp angkatan laut, sahabat dekatnya, Yong Bee (Ji Soo), mengajak dua teman mereka lainnya, Ji Gong (Ryoo Joon Yeol) -yang tengah sibuk persiapan ujian masuk kuliah setelah gagal tahun sebelumnya- dan Doo Man (Kim Hee Chan) -yang sudah duduk di bangku kuliah- untuk melepas Sang Woo. Perjalanan keempat remaja ini ke Pohang untuk menikmati laut realitasnya bukan hanya menjadi pelepasan Sang Woo, melainkan pelepasan diri mereka semua memasuki real world yang penuh intrik.

Movietard selalu menyukai film-film bertemakan coming of age yang memotret bagaimana para karakter remaja ‘tumbuh’ dari awal hingga akhir film dimana ada keceriaan masa muda ataupun luapan kemarahan yang begitu cute ditonton. Walaupun banyak film coming of age yang menjadikan plot percintaan sebagai dasar cerita, plot friendship sesungguhnya juga mampu menyajikan suguhan yang tak kalah menarik, seperti pada Stand by Me (1986) yang menyajikan petualangan Gordie dan kawan-kawan untuk menjadi pahlawan dengan berusaha menemukan mayat di hutan. Nah, One Way Trip adalah versi lebih berat, lebih dewasa dan tentunya lebih pahit dari Stand By Me tersebut, yaitu bagaimana sebuah niat baik para remaja ini justru berakhir dengan malapetaka hanya dalam satu malam. Plot yang sederhana ini untungnya ditopang dengan narasi maju mundur yang membuat konflik berjalan lebih intens, dimana audiens ikut menebak-nebak apa yang sebetulnya terjadi di malam itu. Sebuah pemilihan cerdas yang dilakukan Jeong Yeol karena rasa penasaran audiens tidak akan ada jika penceritaan dilakukan dengan model linear biasa.

glorydayyyy

Yang membuat One Way Trip semakin menarik adalah, film ini menanggalkan ke-aegyo-an ala remaja Korea Selatan dan melepaskan diri dari gemerlap distrik-distrik metropolis di Seoul, sedari awal, Jeong Yeol sudah menyodori audiens dengan karakter remaja yang biasa-biasa saja tanpa dandanan stylish, Jeong Yeol juga menyodori audiens akan gang-gang gelap yang sempit, daerah pembuangan sampah, ataupun daerah pinggir pantai yang kumuh, sebuah pernyataan jelas bahwa film ini memang tak dimaksudkan sebagai film remaja ringan dan menghibur. Memang ada tawa yang dihadirkan Jeon Yeol, yaitu dalam beberapa flashback di awal film ketika acara ‘penjemputan’ dilakukan Yong Bee terhadap sahabat-sahabatnya. Tetapi setelahnya, tawa menghilang ketika seting yang dihadirkan justru menjadi tempat yang meyebalkan, kantor polisi, lengkap dengan ruang interogasi dan sel tahanan. Melalui interaksi para remaja ini dengan polisi dan detektif inilah, audiens diajak menyelami karakter-karakter remaja ini lebih dalam, dan bagaimana akhirnya kantor polisi menjadi menjadi tempat para remaja ini ‘belajar’ menjadi dewasa.

Plot yang disodorkan Jeong Yeol berjalan lebih intens pada pertengahan film ke belakang, ketika karakter orang tua dan kakak para remaja itu berdatangan ke kantor polisi. Pada momen inilah, Jeong Yeol memotret kondisi sosial kultur Korea Selatan yang tak jauh berbeda dengan Indonesia, yang menjadi potret nyata mengenai persoalan penegakan hukum dan institusi di dalamnya, yang seringkali menekan orang-orang yang tidak bersalah dan membelokkan kebenaran demi kepentingan yang lebih besar. Jadi, seberapa keras pun Yong Bee berteriak bahwa ia tak bersalah, teriakannya akan kalah dengan bisikan pelan via telepon yang jusru memegang kekuatan terhadap arah penegakan hukum. Menurut movietard, aktor-aktor muda dalam One Way Trip bermain baik, pada beberapa momen, Ji Soo sebagai main lead bermain baik dalam melepaskan kefrustasian karakter Yong Bee yang membuat movietard terisak. Joon Yeol dan Hee Chan mampu menopang Ji Soo dengan baik, interaksi ketiganya yang semakin intens pada petengahan film ke belakang realitasnya menjadi momen yang memikat di film ini.

One_Way_Trip-002

Terakhir kali movietard dibuat menangis saat menonton film di bioskop adalah ketika menonton Surga Tak Dirindukan (2015) dan kali ini, movietard dibuat terisak kembali ketika menyaksikan kisah Yong Bee dan kawan-kawan. Good story is good story, tanpa spesial efek, ide-ide liar, atau story plot berlapis, One Way Trip justru begitu bittersweet dengan kesederhanaannya  Dengan penyelesaian akhir yang dipilih Jeon Yeol yang tampak tidak solutif, ending ini sebetulnya semakin mengukuhkan One Way Trip memang bukan film remaja ringan guna menghibur audiens, melainkan menjadi gambaran kegelisahan Jeon Yeol terhadap remaja yang polos memasuki dunia yang sudah semakin korup. Sinisme yang dihadirkan Jeon Yeol bahwa kadangkala untuk menyelamatkan ‘hidup’ diri sendiri, kita harus mengorbankan orang lain realitasnya menyajikan gejolak emosional tidak hanya terhadap para karakter remaja ini tetapi juga gejolak pada diri audiens. Pada akhirnya, film ini meninggalkan segudang pertanyaan moral dalam diri audiens, dimana saat layar sudah mencapai credit title, movietard masih terus dibuat berpikir apakah Yong Bee dan kawan-kawannya dapat menjalani hidup mereka dengan ‘normal’ setelah perjalanan ini?

Semua gambar diambil dari Dramabeans

Leave a comment